Kamis, 05 Agustus 2010

KABUT HITAM DIATAS MENARA GADING

Ketika seusiamu aku jelajahi dunia pengetahuan bukan dengan pesona tapi bertanya, Saat aku seusiamu aku bikin sekolah rakyat yang tidak mengutip bayaran. Kemudian aku ajari anak – anak tiga pelajaran penting yaitu keterampilan agar mereka menjadi manusia merdeka, dan filsafat agar mereka tahu akar pengetahuan, serta kuajari mereka organisasi agar mereka menjadi bagian dari pergerakan.! (Tan Malaka)

Ribuan tahun lalu Om Plato, pernah mengingatkan bahwa “Intelektualitas itu sebangun dengan kekuasaan”. Sebab, intelektualitas adalah kebijakan tertinggi yang akan mengatur nafsu-nafsu rendah. Namun apa jadinya saat intelektualitas menyatu baku dengan nafsu-nafsu rendah itu? Boro – boro mau menjadi komando bagi nafsu uang dan kedudukan, para intelektual mengabdi pada keduanya.
Dan saat ini, dijaman yang serba uang dan kedudukan ini, mau tidak mau dan sadar atau tidak sadar, kita akan selalu dihantui oleh pertanyaan yang selalu mendesak untuk kita jawab, yaitu dimanakah benteng akhir asketisme intelektual kita. “Menara Gading (Universitas/Kampus), Apa masih layak,..??”. Dijaman yang serba – serbi ini saya melihat kabut hitam diatas menara gading. Bagaimana tidak, tak jarang saya selalu menyaksikan para intelektualnya merayap keluar dari ruang – ruang akademik kemudian mengabdi pada kekuatan karisma uang dan kedudukan, dan tidak ada lagi semangat artes Liberal yang diabadikan pada kebaruan dan wawasan, yang ada hanyalah kepentingan intelektual telah sebangun dengan kepentingan pemodal dan politikus. Dan akhirnya saya kembali menuai pertanyaan, Dimanakah integritas dan independensi akademik bercokol..??
Aku menyaksikan kabut itu makin hitam, dan aku melihat menara gading semakin seram. Sejalan dengan itu aku menyaksikan unversitas – universitas saat ini tidak lagi murni sebagai pemasok ilmu melainkan sebagai pemasok tukang, itu yang aku saksikan. Dan Dalam hal ini aku jadi ingat pendapat seorang penulis dalam sebuah artikel, ia mengatakan bahwa “Pengetahuan bukan komoditas. Pengetahuan bertambah saat dibagikan. Pengetahuan berkembang lewat persentuhan. Saat pengetahuan dijual demi uang dan kedudukan, watak pengetahuan semacam itu pupus. Dan jika sudah seperti itu Pengetahuan tak ubahnya barang dagangan di toko kelontong”. Persis seperti apa yang terjadi hari ini, yaitu komersialisasi yang semakin hari, semakin menjadi warna baru ditengah – tengah menara gading. 3 dharma perguruan tinggi mulai kehilangan makna, watak teransaksi kampus semakin terlihat, dan mahasiswa – masiswa, “Mohon Maaf”, secara tidak sadar demi eksistensi mereka dengan Unit-unit kegiatannya masing-masing, mereka dibikin sibuk dengan kegiatan – kegiatan yang berkedok “building skill”, yang akhirnya mereka hanya berkutat dengan proposal – proposal yang bernilai uang, uang, dan uang. Namun parahnya sebagian diatara merka ada yang sok idealis, tapi nampaknya mereka (Mahasiswa itu) kurang menyadari resiko menjadi seorang idealis; dikucilkan, disinisi, diabaikan, dipinggirkan, dianggap gila, pengacau, mengganggu, bahkan bisa-bisa dikeluarkan dari institusi universitasnya, apabila ia seorang anggota universitas yang memang idealis ditengah keadaan yang penuh dengan ketimpangan ini, dalam artian dia tidak akan kompromis dan bertransaksi dengan kebohongan dan kebobrokan.
Dan Universitas jangan sok tidak bersalah dan tidak tau – tau menau, Universitas seharusnya mampu menjadi benteng terakhir asketisme intelektual, disaat tangki-tangki pemikir bernoda uang dan kedudukan bertumbuhan di sana sini. Bukan malah sebaliknya, Universitas tidak lagi bernafsu dan mampu menumbuhkan tangki-tangki pemikir yang mengabdi pada kemaslahatan bersama, kemudian membiarkan budaya yang mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan semata mekar dan subur ditiap pojok-pojok akademik universitas (Menara Gading) dan pupuslah independensi akademik.
Kabut hitam itu masih tetap menghiasi langit menaraku, namun aku menyadari bahwa persoalan ini tidak berasal dari satu muara saja, aku pikir hingga saat ini kendali negara terhadap kebebasan berpikir kita sebagai kaum intelektual akademik secara sistematis membuat kita tidak memiliki ruang dialog yang cukup, karena lagi – lagi negara selalu mengambil peran sebagai pengambil keputusan tunggal. Dan sebagai kaum intelektual yang masih bertengger dimenara gading, seharusnya kita menyadari ini, dan secara bertahap kita harus melakukan perubahan, karena kaum intelegensia yang terus berdiam ditengah kondisi seperti ini, bukan saja telah melunturkan nilai – nilai kemanusiaan tapi juga telah ikut andil dalam memperparah serta memperpanjang barisan kemiskinan baik moral maupun materi yang di miliki bangsa ini.
Sebagai kaum intelektual akademik, independensi akademik harus kita jaga dan segala usaha harus kita kerahkan untuk terus belajar dan memahami persoalan – persoalan bangsa dewasa ini, prinsip pragmatis dan transaksional yang menggurita baik diwilayah ekonomi mapun diranah politik harus kita libasa habis untuk tidak merambah keranah pendidikan dan cita – cita agar semua anak negeri, bisa mencicipi bangku-bangku pendidikan hingga perguruan tinggi harus tetap kita suarakan, karena kita tidak lagi hidup dijaman, yang diamana hanya anak raja, priyayi, bupati bangsawan dan kiyai saja yang bisa sekolah. Untuk itu sudah saatnya kita semua sebagai bagian dari akademisi kampus mengusir awan hitam itu dan kalau perlu kita pikirkan bagaimana caranya agar dia bisa jadi hujan yang dapat membersihkan jiwa – jiwa yang ngawur dalam praktek, menjadi tau diri dan kembali pada kiblatnya yaitu pendidikan yang bersih dari pengarunya kepentingan – kepentingan yang dapat membunuh integritas dan independensi 3 dharma perguruan tinggi.

Bila kaum muda yang telah belajar disekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk dapat melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita – cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak dieberikan sama sekali. (Tan Malaka)

1 komentar: