Sabtu, 26 Juni 2010

GENERSI OPORTUNIS

Banyak yangmengatakan bahwa Demonstrasi adalah hal yang tidak baik. Dosen, Guru dan sebagian besar mahasiswa yang membenarkan hal itu juga mengatakan hal yang sama. Sebagai kaum intelektual, mereka itu pura-pura tidak tau atau memang rasionalitasnya sudah terjual dan tergadaikan oleh kekuatan modal, atau bagaimana.?
Aku selalu resah dan gelisah ketika mendengar hal itu, ditengah kondisi bangsa yang carut marut dan hamburadul seperti saat ini, dan ditengah persaingan para elit politiknya yang hanya mementingkan kekuasaan dan kesenangan golongan mereka semata. Apakah kita patut berdiam dan hanya menunggu kiamat datang.?
Mungkin perlu kita ketahui, bahwa demonstrasi adalah sebuah proses pembentukan opini massa dan demonstrasi juga tidak boleh kita lupakan, karena tidak bisa dipungkiri bahwa demonstrasi adalah batu tapal dari perkembangan sejara bangsa Indonesia. Bisa kita bayangkan, jika dalam kondisi bangsa yang seperti saat ini, apa jadinya jika tidak ada suara – suara kritis pemuda – pemuda disamping kiri jalan.? Suda pasti Negara ini tidak ubahnya Negara fasis dan akan jadi tirani yang rakyatnya tetap bodoh dan akan terus dibodohi, karena tidak ada proses pembentukan opini dan pencerdasan politik yang dilakukan pada rakyatnya dan lagi-lagi rakyat hanya akan menjadi dan dijadikan buruh murah atau tenaga – tenaga produktif dengan harga murah.
Sebagai kaum intelegecia, seharusnya kita tidak tinggal diam dalam keadaan seperti saat ini, segala kekuatan harus kita kerahkan untuk terus berjuang dan belajar serta berusaha memahami persoalan-persoalan bangsa dan Negara akhir – akhir ini. Kaum intelegencia yang tarus berdiam dalam keadaan seperti saat ini, tidak lain dan tidak bukan adalah orang – orang yang oportunis.
Menggelar poster dijalanan dan memprotes ketidakadilan. Percaya atau tidak, yang mereka sampaikan adalah kejujuran dan kebenaran. Jujur bahwa mereka mengalami ketidak adilan dan bener bahwa ada kebohongan yang telah ditanamkan dalam proses pembentukan bangsa dan Negara ini.
Memang benar, bahwa dalam proses penyampaian pendapat dimuka umum tidak jarang akhir – akhir ini diwarnai dengan kericuhan dan bentrok yang sulit untuk dikontrol. Namun Saya ingin mengatakan bahwa terjadinya bentrok semacam itu, pada dasarnya itu sudah merupakah hal yang diluar dari proses penyampaiaan pendapat, karena pasti itu terjadi karena kesalahan hal-hal kecil yang menyangkut mekanisme dan teknisi dilapangan. Bisa saja itu bersumber dari para pendemo atau malah sebaliknya yaitu dari para petugas keamanan yang seharusnya menempatkan posisi sebagai pengawal aspirasi rakyat, namun dalam teknisinya dilapangan malah sebaliknya, yaitu petugas keamanan ini malah menjadi benteng tangguh yang menghadang kedatangan rakyat dengan barisan dan senjata yang lengakap, ditambah dengan raut wajah yang seakan – akan melihat setan, dan seakan – akan menempatakan posisi rakyat sebagai preman atau penjajah yang pasti akan berubat buruk. Inikan bisa mempengaruhi psikologis individu – individu yang ada, jadi jangan heran potensi terjadinya kerusuhan sangat besar.
Dalam keadaan yang sudah tercap sebagai budaya ini, ada pertanyaan yang menarik, “Sebenernya siapa yang harus dilayani,.??”. Terciptanya sebuah Negara, itu satu, harus ada rakyat, dan dalam Negara demokrasi rakyat akan memilih siap yang pantas mewakili mereka untuk berhadapan dengan dunia luar. Jadi presiden sekalipun walaupun dia adalah symbol Negara, sejatinya dia adalah wakil dari rakyat, dan segala parangkat pemerintahan seharusnya mengayomi rakyat layaknya raja yang harus mendapat perlakuan dan pelayanan yng baik. Bukan malah sebaliknya, mereka yang digaji oleh rakyat dan bahkan celana dalamnya sekalipun didapatkan dari uang rakyat, malah mempersulit dan membodohi rakyat.
Saya tidak sepakat dengan orang yang mengatakan bahwa demonstrasi bukan merupakan solusi penyampaian pendapat yang tepat, tapi saya juga lebih tidak sepakat dengan bentuk – bentuk penyampaian pendapat yang keluar dari tujuan aslinya., yaitu membentuk opini massa dan propaganda untuk mencerdaskan dan membentuk keadaan social yang mamapu mempengaruhi kesadaran social massa rakyat. Dan satu hal yang paling penting, yaitu bukan merupakan kepentingan politis apalagi ditunggangi oleh kepentingan partai politik tertentu. Tapi semuanya harus murni kerena amanat penderitaan rakyat yang sejatinya telah dilupakan oleh generasi-generasi oportunis yang telah menduduki posisi sebagai wakil rakyat diatas sana.

GENERSI TER-ASING (Membantah Apatis Namun Ter-Asingkan)

Padamu negeri kami berjanji,
Padamu negeri kami berbakti,
Padamu negeri kami mengabdi,
Bagimu negeri jiwa raga kami.
Lagu ini sudah tidak asing lagi dalam ingatan kita, sekaligus mengingatkan kita pada perjuangan para pahlawan yang mati – matian telah menyerahakan seluruh jiwa raganya hanya untuk kemerdekaan bangsa dan Negara ini.
Kedaulatan dan kemerdekaan sudah kita raih, namun benar pa yang dikatakan funding father Negara ini, yang pernah mengatakan bahwa “Kemerdekaan hanyalah jembatan emas menuju kemakmuran dan kesejahteraan”. Merdeka, bukan berati perjuangan sudah usai, namun justru diseberang jembatan emas itulah perjuangan kita bakalan benar – benar diuji, karena disanalah arena pertarungan yang sebenarnya, karena disana kita akan sulit mengenal mana kawan dan mana lawan. “Dan itulah medan perang yang sebenarnya”.
Anlisa yang tepat dan nalar yang bermain jernih serta pertimbngan dari berbagai aspek merupakan modal utama untuk tampil sebagai petarung yang handal.
Hari ini, ketika kesengsaraan itu makin jelas, ketika kemiskinan makin ganas merongrong sendi – sendi kehidupan rakyat, kami yakin masih ada sebagian orang yang merasa bertanggung jawab dan peduli untuk tampil membela dan menyuarakan penderitaan rakyat. Bukan sebagai pemimpin perjuangan, bukan juga sebagai “Agen Of change”, tapi sebagai putra – putri ibu pertiwi yang menginginkan kemerdekaan dan demokrasi sejati, dengan menggalang kekuatan bersama massa rakyat dalam semesta perlwanan.
Banyak yang mengatakan bahwa kita adalah generasi – generasi apatis, anak – anak yang cuek dan tidak mau tau tentang keadan bangsa tempatnya berpijak, bahkan yang paling tragis yaitu ada yang terlupa dengan jati diri bangsanya sendiri. Dalam hal ini, “Kita yang lupa atau kita yang dibuat terlupa.?” Mungkin itu pertanyaan yang harus kita simak dan telaah lebih dalam.
Ditengah realitas social yang semakin tak bercahaya, dan kemakmuran yang semakin jauh dari pupil mata yang semakin mengecil, perlawanan itu masih ada, riak – riak gelombang perlwanan yang ditandai dengan teriakan – teriakan pembebasan, masih terdengar disamping kir jalan – jalan yng diciptakan oleh para punggawa negeri ini.
Mereka, Mereka adalah anak – anak yang membantah bahwa mereka adalah generasi apatis(Dalam pandangan banyak orang). Mereka turun kejalan, menggelar poster dijlanan, memprotes ketidak adilan, menyebarkan benih – benih perlawanan, membentuk opini massa dan terkadang, mereka bahkan harus siap menentang aparat keamanan dengan resiko hilangnya keselamatan jiwa mereka. Namun sayang, hingga saat ini, tetap saja mayoritas massa rakyat termsuk kelas tertindas sekalipun, sulit dan bahkan tidak memahami apa yng mereka lakukan. Massa rakyat pada umumnya tampaknya lebih memahami prilaku anak – anak muda yang ada di mall, dipentas – pentas musik, diskotik, dan anak – anak muda yang terbuai oleh manisnya boneka – boneka imprealisme.
Bagimu negeri jiwa raga kami,… itulah jawaban dari apa sebenarnya yang mereka cari. Dan sekaligus jawaban buat ungkapan yang mengatakan bahwa “Jangan tanyakan apa yang diberikan Negara padamu, tapi tanyakanlah apa yang telah kau berikan untuk negaramu”.
Disadari atau tidak pada dasarnya mereka telah memberikan segalanya bagi bangsnya, jiwa dan raga mereka, tidak segan – segan mereka korbankan hanya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat, bangsa dan negaranya. Sekligus aplikasi dari rasa cinta tanah air mereka.
Ditengah dominasi imperialisme yang begitu kuat, tak ragu dan segan – segan mereka tampil sebagai penentang dan siap bertarung untuk mengucilkan dominasi tersebut dalam benak rakyat dan bangsanya. Cita – cita mereka begitu mulia, “Menciptakan keadaan sosil yang mampu mempengaruhi kesadaran social”. Itulah yang mereka lakukan, yang tak peduli senapan berjejer, dan ribuan intimidasi yang kerap menusuk sendi – sendi kehidupan pribadi maupun keluarga mereka. Dan satu hal yang paling mengharukan adalah mereka tidak pernah memikirkan kapan perjuangan ini selesai walaupun mereka tau proses menuju itu sangat panjang, namun yang mereka pikirkan hanyalah “Kita harus menanam hari ini, walaupun kelak kita tidak sempat menikmati hasil panen dari apa yang telah kita semai. Bermimpi untuk menikmati saja, sudah sangat jauh dari benak mereka. Sungguh mulia dan sebenarnya sangat sederhana permintaan mereka. Tapi untuk meraih itu dibutuhkan idialisme yang sangat tangguh dan mampu menyingkirkan kekuatan modal.
Banyak orang yang mengaku idealis, tapi tanpa mereka sadari, idealisme mereka hanyalah idealisme kerupuk yang hanya untuk kesenangan dan kemapanan pribadi. Padahal idealisme itu lahir dari kesadaran bahwa rakyat sedang menderita dan membutuhkan tangan – tangan yang berani untuk menyuarakan pembebasan yang sesungguhnya. Dan hari ini, idealisme sejati itu hanya ada dan dimiliki oleh orang – orang yang berada digaris perjuangan, yang menuntut demokrasi sejati, dan sekali lagi bukan mereka yang oportunis dan menghamba pada kepentingan modal kemudian berlaga pura – pura tidak tau.!

KETIKA KU TERSADARKAN

Hari ini, aku merasakan ada yang beda dari udara Surabaya. Surabaya yang begitu panas karena udara yang sudah tercemar oleh aktivitas pabrik-pabrik yang tidak ada henti – hentinya, terasa beda sore ini. Aku merasakan udara Surabaya hari ini begitu dingin, beda dengan hari – hari kemaren.
Berjalan ditengah congkaknya gedung – gedung kemapanan, udara dingin dari angin sepoy – sepoy yang menusuk pori – pori kulitku, hampir tidak dapat kunimati. Aku menyaksikan dan merasakan begitu ganasnya penindasan yang mereka lakukan, ditengah kota besar yang gedung – gedungnya seharusnya merupkan gambaran dari sebuah kemakmuran, ternyata sama sekali tidak menggambarkan hal tersebut. Tangan dibawah disetiap perempatan lampu merah, dipusat-pusat perbelanjaan dan dijalan – jalan perkotan, mewarnai sebauah tatanan kehidupan yang katanya mereka adalah sebuah kemakmuran.
Aku hanya punya beberapa receh dikantong celanaku, dan aku tidak punya uang sebanyak itu untuk memperbaiki prekonomian mereka, “orang – orang malang dipinggiran jalan”. Apa yang harus aku lakukan, toh, juga dengan memberikan mereka receh yang aku miliki juga tidak akan menyelesaikan persoalan mereka.?
Sahabat – sahabat yang progresif dan revolusioner, menjawab pertanyaan tersebut dengan propaganda yang begitu massif. Aku terbuai oleh konsep perjuangan mereka, mereka yang begitu lihai memainkan kata – kata yang sejatinya adalah sebuah gambaran kenyataan terhadap sebuah realitas social hari ini, menyadarkanku bahwa sebuah perubahan yang fundamental, baru benar – benar akan terwujud, jika kita berhasil membentuk sebuah keadaan social yang mampu mempengaruhi kesadaran social massa rakyat yang pada dasarnya telah terbuai oleh mimpi – mimpi yang ditawarkan oleh para pemimpin – pemimpin Negara yang notabene adalah antek – antek imperialisme.
Mereka, kawan – kawan yang progresif dan revolusioner pernah mengatakan, bahwa konflik yang terjadi didunia saat ini, apapun bentuknya adalah perang antara dua kelas, yang tidak mungkin akan terdamaikan, yaitu antara kelas tertindas dan yang menindas, antara kaum kaya dan kaum miskin, antara kaum penghisap dan yang terhisap dan antara pencuri dan yng dicuri hak miliknya. Itulah perang yang sedang berlangsung diseluruh dunia saat ini. Dan Indonesia merupakan salah satu Negara yang menjadi sasaran jajah yang empuk bagi imperialisme, yang sebenarnya sudah berlangsung lama, dan bahkan mereka sudah mampu membodohi dan membohongi rakyat. Salah satunya yaitu melalui system pendidikan yang tidak ilmiah, tidak demokratis, dan tidak mampu mengabdi pada kepentingan rakyat mayoritas. Hal itu mereka lakukan, tidak lain dan tidak bukan hanya untuk memperkokoh eksistensi mereka sebagai penjajah yang bagi mereka tidak akan pernah terkalahkan.
Untuk terbebas dari jajahan tersebut kita membutuhkan sosok kepemimpinan yang revolusioner, yang mampu mengambil ketegasan untuk menentang imperialisme dengan segala implementasinya. Dan sadar bahwa penggulingan terhadap dominasi imprialisme, hanya bisa dilakukan oleh gerakan massa yang terorganisir, dari kelas buru, tani, dan kaum miskin perkotaan, pedesaan dan kaum intelektual yang revolusioner serta kelas – kelas atau bangsa – bangsa minoritas yang tertindas. Dan untuk itu haruslah mereka dipersenjatai dengan idiologi dan praktek yang benar. Inilah sesungguhnya tugas berat bagi kaum muda intelektual yang revolusioner, yaitu untuk menyadarkan mayoritas kelas tertindas dengan mengajak mereka menciptakan sebuah keadaan yang mampu mempengaruhi kesadaran social massa rakyat, khususnya klas – klas tertindas untuk bngkit dan melawan segala bentuk – bentuk penindasan yang telah diciptakan imperialisme terhadap sendi –sendi kehidupan rakyat.
Angin yang bertiup lalu pergi begitu saja, tanpa meninggalkan bekas apa – apa kecuali belaian mesranya yang telah menyelimuti tubuhku, dan akan selalu kurindukan, telah menyadarkanku dari sebuah lamunan tentang realitas yang nyata, yang pada dasarnya kurasakan dalam denyut nadi dan detak jantungku.
Ketika aku tersadarkan, kurasakan indahnya dunia, dan arti kehidupan yang sesungguhnya dalam segala keterbatasan, yang kuyakin tidak semua orang pernah mengalami dan merasakannya. Dengan segala keterbatasan kita mencoba untuk hidup berbagi dengan menyingkirkan egoisme, dan membuang ketamakan serta melepas pergikan sifat-sifat individualisme yang mementingkan diri sendiri. Apa lagi soal Perut. Kita, karena keterbatasan, selalu mengisi perut dan menutup kelaparan dengan makan satu bungkus nasi yang harus dibagi untuk beberapa mulut, itu soal biasa dalam hidup kami, dan keadaan yang telah membentuk budaya ini, sangat membutuhkn perasaan dan solidaritas yang tinggi adalah hal yang tidak akan pernah terlupakan dalam sejarah hidup kami. Yang mau tidak mau harus berdamai dan berbaik hati dengan segala keterbatasan dan kekurangan.
Ketika aku tersadarkan, selamat tinggal kuucapkan buat masa lalu, namun ijinkan aku untuk belajar darimu untuk menatap hari esok, dengan menjemput kemeredekaan dan pembebasan yang sesungguhnya.!!!

Jumat, 25 Juni 2010

“ISRAEL KEPALA BATU = “AMERIKA” TIDAK SEGARANG YANG KUKIRA.??”

Nampaknya setelah Israel melakukan penyerangan yang memalukan dengan menggunakan armada militer lengkap terhadap kapal bantuan kemanusiaan yang bahkan tidak memilki senjata, tampaknya reaksi dunia Internasional semakin “berani” mengecam Israel. Bahkan Armada Kapal tambahan akan diberangkatkan kembali. Ini merupakan gerakan yang memang seharusnya dilakukan oleh dunia Internasional. Setelah mempertanyakan apa peran dunia Internasional, sebenarnya logika yang terjadi bahwa pengiriman relawan dunia Internasional dengan kapal –kapal laut, sebagai upaya menembus dari daerah yang lebih luas dan agak longgar (selain darat yang sudah dikepung) yaitu bentuk nyata dari warga dunia yang peduli terhadap bangsa palestina. Adanya mereka dan ditangkapnya mereka adalah bentuk nyata bahwa dunia masih peduli dengan warga palestina. Namun dalam sebuah surat kabar baru – baru ini, ada sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa “siapapun yang berharap akan datangnya perdamaiaan atau setidaknya kesetabilan dan ketenangan di Timur Tengah terutama antara Israel dan Palestina, tidak ubahnya menunggu Godot yang tidak pernah datang dalam lakon karya Samuel Beckett yang terkenal itu. Dan kitapun mungkin akan sepakat dengan pernyataan itu jika tidak ada usaha dari dunia internasional terutama bagi Negara – Negara yang berkompeten dalam hal ini, jika terus berdiam dan tunduk pada hegemony Negara – Negara tertentu, maka jangan berharap mimpi tentang rumah dan kampung serta negara yang aman bagi rakyat dan bocah – bocah Palestina tidak akan pernah terwujud.
Bergolaknya peristiwa Mavi Marmara, sampai kepada kecaman dunia internasional ternyata tidak membuat Israel jerah, namun yang terjadi malah sebaliknya, mereka makin provokatif. Contoh, setelah insiden tersebut dan mereka mendapatkan resolusi dari PBB yang kemudian ada usulan dari dunia internasional untuk menyelidiki kasus tersebut, mereka malah dengan tegas menolak investigasi penyelidikan internasional dan memilih untuk menyelidiki sendiri insiden tersebut yang sudah pasti akan tertebak bahwa hasilnya akan jauh dari nilai – nilai objektifitas dalam pandangan dunia internasional. Kemudian yang lebih parahnya lagi mereka justru menegaskan bahwa mereka akan memperketat blokade atas Gaza yang sejak 2007 lalu telah mengakibatkan 80% dari total 1,5 juta warga gaza menderita lahir batin hingga saat ini.
Berdasarkan aksi – aksi Israel yang sangat tidak manusiawi tersebut dapat kita bayangkan bahwa hari – hari depan Gaza dan Palestina akan semakin bergolak seiring dengan sikap kepala batu Israel dan Oportunisme Masyarakat Dunia Internasional serta Negara – Negara yang berkompeten dalam hal ini, yang perhatiannya dapat kita lihat yaitu kian hari, kian meninggalakan dan melupakan persoalan ini. Ada yang berpendapat bahwa Konflik Israel dan Palestina hanya akan selesai jika Amerika sebagai Negara Adidaya memiliki kemauan untuk bertindak dan menyelesaikan persoalan ini dengan tegas, karena bukan rahasia lagi bahwa Amerika memiliki hegemony dan kekuatan yang sangat besar dalam menentukan kebijakan – kebijakan dunia Internasional termasuk PBB. Dan saat inilah kita berharap pada Obama untuk bijaksana dan konsisten dengan apa yang pernah diakatakan dalam pidatonya di Kairo dulu, yaitu menginginkan sebuah tatanan dunia baru yang ramah, toleran, dan egaliter sekaligus membuktikan bahwa tidak ada hegemony yang menggerakkan kebijakan politik dan ekonomi pemerintahannya selain dirinya. Sadarkah dan Mampukah dia..???

PELACURAN INTELEKTUAL

Bukankah melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan realitas dan keinginan hati nurani adalah sebuah bentuk pelacuran.??
Mengenai judul ini, saya tertarik dengan tulisan Gie yang diterbitkan di Sinar Harapan 21 April 1969 lalu. Dan jika dikaitkan dengan keadaan objektif hari ini, tidak sedikit saya menjumpai sahabat – sahabat dan teman – teman saya yang tidak ubahnya seperti apa yang dimaksud "Gie" dalam tulisannya tersebut, yaitu Pelacuran Intelektual.
Kebanyakan diatara mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nurani dan pola pikir mereka. Mereka selalu berbicara dan menjelaskan persoalan – persoalan yang melanggar peraturan dan hukum – hukum yang berlaku namun tanpa mereka sadari, ternyata mereka adalah bagian dari sistem yang kompromis dan sama sekali tidak bertindak terhadap penyelewengan – penyelewengan yang terjadi disekitar mereka. Namun saya tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat saya pada mereka, karena saya sadar bahwa mereka sedang berada dalam situasi yang sulit dan sedang berusaha untuk mencapai hasil – hasil yang maksimal dalam kerja – kerjanya, dan aku percaya bahwa memberikan penilaiaan terhadap situasi seseorang bukanlah hal yang sederhana dan mudah untuk dilakukan.
Berbicara soal perilaku, kita tidak akan terlepas dari sistem – sistem moral yang berlaku didalam masyarakat. Dalam sistem moral masyarakat kita, saya mengenal dua sistem nilai, yaitu sistem nilai absolut dan sistem nilai relatif.
Dalam masyarakat, mereka yang menggunakan sistem penilaiaan absolut, dalam tindakannya selalu didasarkan pada pertanyaan benar atau salah, dalam artian jika salah tidandakan itu tidak boleh dilakukan, begitupun sebaliknya jika benar, tindakan itu sah – sah saja untuk dilakukan. Sedangkan sistem nilai relatif, adalah sistem penilaiaan yang para penggunanya sangat sadar akan kebenaran dan kesalahan secara teoritis namun dalam setiap pengambilan keputusannya selalu didasarkan oleh pertimbangan yang realistis.
Pada dasarnya sistem nilai dan penilaiaan ini berlawanan, namun keduanya sama – sama memiliki batasan – batasan yang sangat kabur, dalam artian tidak memiliki batasan – batasan yang jelas dalam penerapannya, namun ada satu hal yang harus diperhatikan yaitu, walaupun batasan – batasannya tidak jelas dasarnya, setiap tindakan ini biasanya memiliki motif – motif yang berdiri dibelakangnya dan akhirnya penilaiaan terakhir diputuskan sepenuhnya oleh kata hati sendiri.
Oleh karena itu saya sepakat dengan apa yang dikatakan Gie dalam tulisannya, yaitu “Kita hanya bisa berkata bahwa setiap situasi dan jabatan harus dinilai secara profesional, dalam artian seorang tokoh agama, misalnya pastor, hendaknya dia harus lebih banyak menggunakan sistem nilai absolut walupun tidak mutlak – mutlakan, dan seorang perwira lapangan, hendaknya harus lebih banyak mempertimbangkan nilai – nilai relatif, karena bisa kita bayangkan, apa jadinya sebuah operasi militer jika komandannya bertindak sebagai Pendeta yang maha adil”,..hehehehee....
Namun dalam penerapannya nilai – nilai relatif hendaknya lebih menerapkan ketegasan batasan – batasannya dan jika pada suatu titik batasan – batasa itu dilanggar ia harus berani bertindak lain dan berani keluar dari persoalan itu. Sebab jika tidak dan terlalu fleksibel ia akan tergeret oleh arus.
Itulah sebabnya kenapa sangat sulit bagi saya untuk menilai sikap seseorang, dan terkait dengan judul diatas bagi saya orang – orang yang menggunakan sistem nilai relatif kemudian tidak punya batasan – batasan yang jelas berdasarkan motif yang menjadi baigroud dalam setiap tidandakannya, dia tidak akan pernah bisa konsekwen dan tetap akan seperti pelacur yang tunduk pada telunjuk sang germo.
Buat sahabat – sahabatku dan teman – temanku yang merasa berada dalam situasi sesulit ini, saya mohon maaf, karena saya sudah menetapkan dan memberikan penilaiaan yang tidak berhati – hati dalam pandangan banyak orang, tentang kalian yang oportunis dan plin – plan serta lihai menggunakan alasan – alasan untuk merasionalkan tidandakan – tindakan pengecut kalian.

Rabu, 16 Juni 2010

"GARUDA MALU DIDADAKU"

“Betapah tidak menariknya pemerintahan sekaran”, ungkapa itu pernah hadir dan menghiasi media cetak ternama di negeri ini sekitar 30-an tahun yang lalu. Yaa… “Soe Hok Gie” dialah orang yang mengatakan itu, dan sampai saat ini, bagi saya ungkapan itu relevan hingga saat ini.
Bangsa yang mengaku ramah ini bagi saya sama sekali tidak menampakkan keramahannya pada rakyatnya sendiri, jika dibanding dengan keramahan yang ditunjukkan pada dunia luar.
Dan ironisnya, pancasilah bukan lagi menjadi idiologi yang di genjot untuk diterapkan, namun malah sebaliknya, bagi para petinggi dan kaum intelektual negeri ini, tampaknya lebih senang bersilat lidah dan memperdebatkannya.
Jika berbicara persoalan – persoalan bangasa ini, mungkin akan sangat abstrak bagi sang penguasa, jika ada yang mengatakan bahwa diseluruh kota dan dibawah kibaran sang “Dwi Warna” telah terjadi antrian panjang kemiskinan dan berbagai macam ketimpangan yang sang garuda pun sepertinya sudah bosan, malu dan acuh tak acuh melihatnya, dia buang muka, dan hanya menyaksikannya dengan satu mata dan seakan berkata “Hey…Lima sila didadaku ini, Bukan Hiasan dan Miniatur permainan anak-anak, apa kalian tidak malu memajangku didada kalian, tanpa tau apa sebenarnya aku,.? “aku loh,..malu berada didada kalian.!!!”.
Balik lagi, sesuatu yang sangat abstrak bagi sang penguasa tadi, bagi saya, semua itu terlihat jelas, dan hal ini membawa saya pada sebuah ketidak tahuan dan terus bertanya – tanya “apa sebenarnya yang di inginkan para petinggi negeri ini, dan apa yang menguntungkan bagi mereka, jika tetap menutup diri tentang kemiskinan, pengangguran dan kesewenang – wenangan yang mereka perlihatkan dengan berteriak melalui ceramah dan pidato – pidato yang seloganistik dan seakan – akan mengabarkan bahwa bangasa ini sedang dalam keadaan baik – baik saja, dan kaum mudanyapun rileks – rileks saja dan bahkan apatis terhadap kondisi objektif bangsa dan mayoritas rakyatnya dewasa ini.?!
Belum lama ini dalam sebuah surat kabar, saya membaca sebuah berita tentang ratusan ribu pengangguran yang diciptakan oleh Negara melalui lembaga – lembaga pendidikan baik swasta maupun negeri di setiap tahunnya.
Persoalan pertama yang menjadi penyembabnya yaitu kurangnya lapangan pekerjaan, yang kedua, buruknya kualitas mahasiswa, yang jelas ini membuktikan buruknya kualitas pendidikan dan lembaga – lebaga pendidikan, yang pada dasarnya harus mampu menciptakan generasi – genarasi baru yang mampu memahami dan menjawab persoalan – persoalan bangasa dewasa ini. Dan yang ketiga yaitu, buruknya perilaku pelaksana sistem pemerintahan yang kerap melakukan praktek – praktek KKN, yang kemudian melahirkan terkikisnya dan hilangnya kepercayaan masyarakat pada pejabat dan petinggi negeri ini diberbagai instansi.
Selain itu ditengah kondisi dan persoalan – persoalan yang begitu kompleks, yang sedang dihadapi oleh bangsa ini, para politisinya malah asyik bersilat lidah dan memperdebatkan persoalan – persoalan yang tidak pokok, kemudian melupakan penderitaan simiskin, sementara dengan sombongnya mereka memeta – metakan NKRI dengan parpol – parpol mereka yang sarat akan kepentingan peribadi dan golongan semata. (“Aku Muak dengan Semua Ini”).
Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah, para kaum itelektualnya, yang masih betengger di Menara Gading, Mereka,..Bukannya berusaha untuk menciptakan pendidikan yang demokratis, ilmiah dan mengabdi pada kepentingan mayoritas rakyat, namun sebaliknya atau entah mengapa, mereka malah bagaikan anak bayi yang tidak tau apa – apa, (mungkin saya akan percaya dengan ungkapan salah seorang dosen, yang mengatakan bahwa sekian persen mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi disetiap tahunnya, belum layak duduk sebagai mahsiswa). Dalam pandangan saya, kebanyakan diantara mereka senang – senang saja dan sangat happy malah, dengan timang – timang disertai lantunan lagu “Nina Bobo” oleh Rezim yang pada kenyataannya hanya berusaha untuk menciptakan Generasi – generasi yang siap kerja dan rela di Upah rendah tanpa menginginkan mereka lahir menjadi manusia - manusia kritis dan mencintai kebebasan ilmiah mereka (Terperangkap dalam penjara Terselubung). (Saya menggambarkan keadaan ini, sama halnya dengan Pesan moral yang dapat saya tangkap dari film “3-Idiot” produksi Hollywood beberapa waktu silam).
Belum lagi karakter mahasiswa yang akhir – akhir ini, terkesan sangat antagonis dan terlihat seperti orang tak bependidikan, yang akhir – akhir ini ramai mewarnai layar kaca kita. Bentrok dan tauran diatara mereka sendiri, kerap terjadi bahkan sesama almamaternya sendiri (sekampus).
Yang lucunya lagi adalah, mereka yang berani memprotes ketidak adilan, menggelar poster dijalanan dan siap berpanas – panasan serta menggelar diskusi dimana – mana, guna mencari penjelasan, mencoba memahami dan mencari solusi terhadap persoalan – persoalan bangsa dewasa ini, mereka semua dianggap sok tau, tidak intelek dan menyesatkan. Siapa yang sebenarnya keliru dalam hal ini, “Begitu besarkah hegemony dan propaganda Rezim selama ini, sehingga dengan mudahnya mampu menggerakkan mind set Generasinya untuk tunduk dan menerima segala persoalan dengan apa adanya, dan sesuai dengan rel yang telah mereka buat walupun pada dasarnya rel tersebut sedang menuju kubangan yang sangat berbahaya. Ataukah malah sebaliknya, “Segitu lemah dan Bodohkah Generasi Baru ini.???”.
Berbicara pemerinthan dan rezim hari ini, maka kita tidak akan lepas dari seluruh aspek pembentuknya, dan hari ini pemuda mahasiswa adalah salah satu tonggak kebangkitan yang seharusnya mampu melakukan perubahan yang fundamental dengan melihat kenyataan objektif bangsa dewasa ini. Dan perntanyaannya Mampukah Mereka.?
Saya jadi teringat kata – kata seorang tokoh yang tidak pernah tua dalam imajinasi saya, dan pemikiran – pemikirannya sangat realistis serta relefan hingga saat ini. Dia adalah “Soe Hok Gie”. Dia pernah bilang bahwa, “Hanya Mereka yang berani menuntut haknya yang pantas mendapatkan dan diberikan keadilan. Dan kalau mahasiswa – mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut hak – haknya biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen – dosen dan pejabat – pejabat pemerintahan mereka yang korup”.

Kamis, 03 Juni 2010

COVER INDAH SEBUAH DONGENG TENTANG NUSANTARA

Beberapa minggu yang lalu di Bulan Mei, baru saja kita memperingati hari kebangkitan Nasional dan mengawali bulan juni ini dengan mengingatkan kita pada peristiwa yang terjadi 64 tahun yang lalu yaitu Bergemuruhnya pidato sang proklamator yang menyuarakan idiologi dan mempertegas karakter dan wakta bangsa ini kepanggung dunia.
Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau prikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan social dan Ketuhanan yang berbudaya atau Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah isi pidato Bung Karno pada 1 juni 1945 yang akhirnya sempurna menjadi Pancasila yang akhir - akhir ini hanya kerap menjadi poin – poin indah yang tersusun rapi kemudian terbingkai indah dan terpajang didinding – dinding rumah, kantor – kantor pemerintahan yang kerap melakukan kecurangan dan diruangan – ruangan kelas para kaum – kaum terdidik yang terkadang tidak terpelajar hingga kerap menjadi ikon pencitraan para politisi dan mahasiswa sok tau yang gemar bersilat lidah tentangnya.
Meresapi nilai – nilai pancasila dan mencoba membayangkan apa yang akan terjadi jika itu diaplikasikan maka aku pikir, perspektif kita akan sama, yaitu “Bangasa ini akan terhidar dari konflik-konflik kesukuan, pemberontakan – pemberontakan kedaerahan dan anarkisme yang akhir – akhir ini setia mewarnai layar kaca kita, yaitu berbagai macam kerusuhan baik itu masyarakat, pihak keamanan, bahkan mahasiswa sebagai kaum terpelajar, seakan – akan kelihatan gemar memainkan peran antagonis itu dilayar kaca dan maaf saja, dalam penilaiaan sepintas mereka – mereka tidak terlihat sebagai manusia – manusia yang waras.
Lunturnya nilai – nilai Pancasila diperparah lagi dengan perilaku para politisi – politisi Parpol yang tidak beradab. Mereka gemar bersilat lidah dan berdebat mengenai hal – hal yang tidak pokok dan yang lebih parah lagi yaitu dengan bangganya dan seakan – akan benar sendiri mereka saling mengklaim dan memeta – metakan NKRI dengan primordialisme sempit yang pada akhirnya menimbulkan fanatisme yang berlibihan sehingga suasana masyarakat yang memang sudah susah dan serba kekurangan makin mudah dihasut dan jangan heran kalau konflik mudah terjadi.
Sejak 1998, setelah hanya diwariskan dengan persoalan – persoalan besar dari orde – orde sebelumnya, kita memasuki periode baru yaitu reformasi, namun apakah reformasi mampu menjawab persoalan – persoalan rakyat hari ini.? “Sampai hari ini saya berani menjawab semua itu tidak terlihat”. Pelayanan public misalnya, “Alih – alih ada perbaikan mutu pelayanan public, dari waktu kewaktu masyarakat malah dihadapkan pada berbagai permasalahan – permasalahan pelyanan public yang banyak merugikan mereka, mulai dari krisis listrik, air bersih, kesehatan dan masih banyak lagi. Semua persoalan itu terus mendera masyarakat tanpa bias ditanggulangi secara memuaskan oleh pemerintah kita hari ini.
Benang merah yang kemudian dapat saya tarik dari persoalan – persoalan yang melanda bangsa ini yaitu, dari orde – orde sebelumnya hingga reformasi saat ini, pancasila hanya ditempatkan sebagai actor pelengkap yang hanya dibutuhkan ketika integritas bangsa ini dipertanyakan, dalam artian hanya sebagai “Cover Indah Sebauh Dongeng Tentang Nusantara”. Dan reformasi yang pada dasarnya menghendaki perubahan – perubahan yang radikal dalam segala aspek kehidupan dalam bingkai NKRI seharusnya menempatkan nilai – nilai moral pancasila sebagai instrument utama yang tentunya tidak liberal dan kapitalistik serta pola – pola lain yang tidak berdasarkan pada nilai – nilai dasar pancasila sebagai Idiologi Negara.
Saat ini, boleh dikatakan bangsa ini sedang kehilangan jati diri dan watak yang jelasnya sebagai bangsa yang memiliki pancasila. Padalah untuk mencapai cita – cita besar bangsa ini kita butuh watak dan karakter yang jelas. Jika merujuk pada pengalaman Jepang, kita bias melihat bagaimana dia mampu menunjukkan dirinya sebagai peraih kesuksesan yang mengagumkan. Setelah ditumpas habis pada perang dunia II mereka berani bangkit dan menjadi Negara termaju didunia. Dan itu semua bukan tanpa sebab, melainkan mereka mampu karena dilandasi dengan prinsip – prinsip idiologi yang jelas dan menjunjung tinggi moral sebagai batu tapal keberhasilan. Dan yang paling mengumkan, mereka mampu menanamkan prinsip bangsanya dalam setiap benak warga negaranya. Bahkan beberap saat sebelum menulis catatan ini, saya sempat menyimak berita salah satu saluran televise bersama Pak Satpam yang terkagum – kagum dengan keputusan seorang Perdana Menteri Jepang yaitu Yukio Hotoyama yang memilih Mundur ketika tidak mampu memenuhi janji – janji kampanyenya kepada mayoritas rakyat Jepang yang mengantarkannya duduk sebagai Perdana Menteri.
“Hebat,…Ini dia Pemimpin yang Baik, jika Berani Berbuat harus Berani Tanggung Jawab” (Ujar Pak Satpam), Saya tidak tau secara spesifik apa penyebab kemunduran beliau tapi lebih kepada apa yang di ucapkan Pak Satpam, saya berpikir kapan budaya malu ini terlaksana di Indonesia yang para politisinya gemar mengumbar janji.
Untuk itu, Hari Pancasila yang jatuh pada 1 Juni 2010 ini, jangan hanya kita jadikan catatan sejarah yang tinggal romansa dan kenangan masa lalu saja tapi mari kita mencoba untuk mengembalikan dan membangun nilai – nilai Pancasila sejak dini, guna menciptakan generasi – generasi yang berwatak, memiliki moral yang baik dan tidak sekedar terbuai dengan manisnya Pelayanan zaman yang akhir-akhir ini serba mudah dan praktis.