Sabtu, 26 Juni 2010

GENERSI TER-ASING (Membantah Apatis Namun Ter-Asingkan)

Padamu negeri kami berjanji,
Padamu negeri kami berbakti,
Padamu negeri kami mengabdi,
Bagimu negeri jiwa raga kami.
Lagu ini sudah tidak asing lagi dalam ingatan kita, sekaligus mengingatkan kita pada perjuangan para pahlawan yang mati – matian telah menyerahakan seluruh jiwa raganya hanya untuk kemerdekaan bangsa dan Negara ini.
Kedaulatan dan kemerdekaan sudah kita raih, namun benar pa yang dikatakan funding father Negara ini, yang pernah mengatakan bahwa “Kemerdekaan hanyalah jembatan emas menuju kemakmuran dan kesejahteraan”. Merdeka, bukan berati perjuangan sudah usai, namun justru diseberang jembatan emas itulah perjuangan kita bakalan benar – benar diuji, karena disanalah arena pertarungan yang sebenarnya, karena disana kita akan sulit mengenal mana kawan dan mana lawan. “Dan itulah medan perang yang sebenarnya”.
Anlisa yang tepat dan nalar yang bermain jernih serta pertimbngan dari berbagai aspek merupakan modal utama untuk tampil sebagai petarung yang handal.
Hari ini, ketika kesengsaraan itu makin jelas, ketika kemiskinan makin ganas merongrong sendi – sendi kehidupan rakyat, kami yakin masih ada sebagian orang yang merasa bertanggung jawab dan peduli untuk tampil membela dan menyuarakan penderitaan rakyat. Bukan sebagai pemimpin perjuangan, bukan juga sebagai “Agen Of change”, tapi sebagai putra – putri ibu pertiwi yang menginginkan kemerdekaan dan demokrasi sejati, dengan menggalang kekuatan bersama massa rakyat dalam semesta perlwanan.
Banyak yang mengatakan bahwa kita adalah generasi – generasi apatis, anak – anak yang cuek dan tidak mau tau tentang keadan bangsa tempatnya berpijak, bahkan yang paling tragis yaitu ada yang terlupa dengan jati diri bangsanya sendiri. Dalam hal ini, “Kita yang lupa atau kita yang dibuat terlupa.?” Mungkin itu pertanyaan yang harus kita simak dan telaah lebih dalam.
Ditengah realitas social yang semakin tak bercahaya, dan kemakmuran yang semakin jauh dari pupil mata yang semakin mengecil, perlawanan itu masih ada, riak – riak gelombang perlwanan yang ditandai dengan teriakan – teriakan pembebasan, masih terdengar disamping kir jalan – jalan yng diciptakan oleh para punggawa negeri ini.
Mereka, Mereka adalah anak – anak yang membantah bahwa mereka adalah generasi apatis(Dalam pandangan banyak orang). Mereka turun kejalan, menggelar poster dijlanan, memprotes ketidak adilan, menyebarkan benih – benih perlawanan, membentuk opini massa dan terkadang, mereka bahkan harus siap menentang aparat keamanan dengan resiko hilangnya keselamatan jiwa mereka. Namun sayang, hingga saat ini, tetap saja mayoritas massa rakyat termsuk kelas tertindas sekalipun, sulit dan bahkan tidak memahami apa yng mereka lakukan. Massa rakyat pada umumnya tampaknya lebih memahami prilaku anak – anak muda yang ada di mall, dipentas – pentas musik, diskotik, dan anak – anak muda yang terbuai oleh manisnya boneka – boneka imprealisme.
Bagimu negeri jiwa raga kami,… itulah jawaban dari apa sebenarnya yang mereka cari. Dan sekaligus jawaban buat ungkapan yang mengatakan bahwa “Jangan tanyakan apa yang diberikan Negara padamu, tapi tanyakanlah apa yang telah kau berikan untuk negaramu”.
Disadari atau tidak pada dasarnya mereka telah memberikan segalanya bagi bangsnya, jiwa dan raga mereka, tidak segan – segan mereka korbankan hanya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat, bangsa dan negaranya. Sekligus aplikasi dari rasa cinta tanah air mereka.
Ditengah dominasi imperialisme yang begitu kuat, tak ragu dan segan – segan mereka tampil sebagai penentang dan siap bertarung untuk mengucilkan dominasi tersebut dalam benak rakyat dan bangsanya. Cita – cita mereka begitu mulia, “Menciptakan keadaan sosil yang mampu mempengaruhi kesadaran social”. Itulah yang mereka lakukan, yang tak peduli senapan berjejer, dan ribuan intimidasi yang kerap menusuk sendi – sendi kehidupan pribadi maupun keluarga mereka. Dan satu hal yang paling mengharukan adalah mereka tidak pernah memikirkan kapan perjuangan ini selesai walaupun mereka tau proses menuju itu sangat panjang, namun yang mereka pikirkan hanyalah “Kita harus menanam hari ini, walaupun kelak kita tidak sempat menikmati hasil panen dari apa yang telah kita semai. Bermimpi untuk menikmati saja, sudah sangat jauh dari benak mereka. Sungguh mulia dan sebenarnya sangat sederhana permintaan mereka. Tapi untuk meraih itu dibutuhkan idialisme yang sangat tangguh dan mampu menyingkirkan kekuatan modal.
Banyak orang yang mengaku idealis, tapi tanpa mereka sadari, idealisme mereka hanyalah idealisme kerupuk yang hanya untuk kesenangan dan kemapanan pribadi. Padahal idealisme itu lahir dari kesadaran bahwa rakyat sedang menderita dan membutuhkan tangan – tangan yang berani untuk menyuarakan pembebasan yang sesungguhnya. Dan hari ini, idealisme sejati itu hanya ada dan dimiliki oleh orang – orang yang berada digaris perjuangan, yang menuntut demokrasi sejati, dan sekali lagi bukan mereka yang oportunis dan menghamba pada kepentingan modal kemudian berlaga pura – pura tidak tau.!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar