Kamis, 03 November 2011

Dunia Yang Kau Ketahui

Morpheus : [Matrix] itu adalah dunia yang disajikan di depan matamu untuk menutupi realitas. Neo : Realitas apa? Morpheus : Realitas bahwa kau adalah seorang budak. … Kau lahir dalam keadaan terkekang dalam .. sebuah penjara bagi pikiranmu. Neo : Lalu? Morpheus : Apa definisimu tentang yang nyata? Jika yang kau maksud adalah apa yang bisa kau cicipi, apa yang kau cium, yang bisa kau rasakan dan lihat, maka yang nyata hanyalah sinyal listrik yang diterjemahkan oleh otakmu. Ini dunia yang kau ketahui. (Dialog dalam Film The Matrix)

KETAKUTAN ABADI

Salah satu Filosofi ironis soren yang mencap dibenakku adalah. Bahwa sumber dari segala ketakutan kita adalah karena kita bisa. kebisaan merupakan sumber ketakutan kita. Aku bisa mati, maka aku takut. Aku bisa jatuh, maka aku takut. Aku bisa sakit hati, maka aku takut bercinta. Aku bisa menyakiti orang, maka aku takut berhubungan dengan orang. Aku bisa, Aku bisa, Aku bisa, dan Aku bisa . Inilah yang mengutuk manusia dengan ketakutan abadi. 

KEINDAHAN SEMU

Burung - Burung berkicau, saling sapa dengan bahasanya masing - masing, ayam jantan sibuk menggoda si-betina yg sedang konsen mencari makan ditengah gundukan pasir-pasir tanah, Daun - daun menari seirama dengan hembusan angin spoy - spoy, awan kemerah-merahanpun ikut bergerak dalam ruang tak terbatas, seakan berbicara dalam bahasa yang lebih dalam. Namun tak sedikitpun aku melihat satupun tetesan embun diujung daun.! KEINDAHAN INI TAK SEINDAH DAHULU.!!! Kendaraan bermotor berseliuran memecah keheningan dan kesucian embun pagi degan asap tebal polusi yang tiada hentinya. setiap individupun mulai disibukkan dengan rutinitas keseharian yg melelahkan. Egoisme, Emosional,Tempramental, serakah, dan tidak mau tau, akhirnya lahir sebagai watak yang menghiasi jalan - jalan perkotaan, perkatoran bahkan dipusat - pusat pelayanan masyarakat menjadi tidak kondusif dalam melakukan pelayanan. Media-media diwarnai dengan berita - berita kecurangan dan saling tuding para elit, Gosip Selebriti, dan kartun - kartun propaganda asing yang merasuki jiwa dan pemikiran anak bangsa tak henti-hentinya mengupas dan mengesampingkan rasa cinta tanah air dan pengetahuan mereka tentang bangsanya sendiri.!!!! ketidak jelasan tulisan ini adalah bentuk kejelasan itu endirii.!!!

Kamis, 05 Agustus 2010

KABUT HITAM DIATAS MENARA GADING

Ketika seusiamu aku jelajahi dunia pengetahuan bukan dengan pesona tapi bertanya, Saat aku seusiamu aku bikin sekolah rakyat yang tidak mengutip bayaran. Kemudian aku ajari anak – anak tiga pelajaran penting yaitu keterampilan agar mereka menjadi manusia merdeka, dan filsafat agar mereka tahu akar pengetahuan, serta kuajari mereka organisasi agar mereka menjadi bagian dari pergerakan.! (Tan Malaka)

Ribuan tahun lalu Om Plato, pernah mengingatkan bahwa “Intelektualitas itu sebangun dengan kekuasaan”. Sebab, intelektualitas adalah kebijakan tertinggi yang akan mengatur nafsu-nafsu rendah. Namun apa jadinya saat intelektualitas menyatu baku dengan nafsu-nafsu rendah itu? Boro – boro mau menjadi komando bagi nafsu uang dan kedudukan, para intelektual mengabdi pada keduanya.
Dan saat ini, dijaman yang serba uang dan kedudukan ini, mau tidak mau dan sadar atau tidak sadar, kita akan selalu dihantui oleh pertanyaan yang selalu mendesak untuk kita jawab, yaitu dimanakah benteng akhir asketisme intelektual kita. “Menara Gading (Universitas/Kampus), Apa masih layak,..??”. Dijaman yang serba – serbi ini saya melihat kabut hitam diatas menara gading. Bagaimana tidak, tak jarang saya selalu menyaksikan para intelektualnya merayap keluar dari ruang – ruang akademik kemudian mengabdi pada kekuatan karisma uang dan kedudukan, dan tidak ada lagi semangat artes Liberal yang diabadikan pada kebaruan dan wawasan, yang ada hanyalah kepentingan intelektual telah sebangun dengan kepentingan pemodal dan politikus. Dan akhirnya saya kembali menuai pertanyaan, Dimanakah integritas dan independensi akademik bercokol..??
Aku menyaksikan kabut itu makin hitam, dan aku melihat menara gading semakin seram. Sejalan dengan itu aku menyaksikan unversitas – universitas saat ini tidak lagi murni sebagai pemasok ilmu melainkan sebagai pemasok tukang, itu yang aku saksikan. Dan Dalam hal ini aku jadi ingat pendapat seorang penulis dalam sebuah artikel, ia mengatakan bahwa “Pengetahuan bukan komoditas. Pengetahuan bertambah saat dibagikan. Pengetahuan berkembang lewat persentuhan. Saat pengetahuan dijual demi uang dan kedudukan, watak pengetahuan semacam itu pupus. Dan jika sudah seperti itu Pengetahuan tak ubahnya barang dagangan di toko kelontong”. Persis seperti apa yang terjadi hari ini, yaitu komersialisasi yang semakin hari, semakin menjadi warna baru ditengah – tengah menara gading. 3 dharma perguruan tinggi mulai kehilangan makna, watak teransaksi kampus semakin terlihat, dan mahasiswa – masiswa, “Mohon Maaf”, secara tidak sadar demi eksistensi mereka dengan Unit-unit kegiatannya masing-masing, mereka dibikin sibuk dengan kegiatan – kegiatan yang berkedok “building skill”, yang akhirnya mereka hanya berkutat dengan proposal – proposal yang bernilai uang, uang, dan uang. Namun parahnya sebagian diatara merka ada yang sok idealis, tapi nampaknya mereka (Mahasiswa itu) kurang menyadari resiko menjadi seorang idealis; dikucilkan, disinisi, diabaikan, dipinggirkan, dianggap gila, pengacau, mengganggu, bahkan bisa-bisa dikeluarkan dari institusi universitasnya, apabila ia seorang anggota universitas yang memang idealis ditengah keadaan yang penuh dengan ketimpangan ini, dalam artian dia tidak akan kompromis dan bertransaksi dengan kebohongan dan kebobrokan.
Dan Universitas jangan sok tidak bersalah dan tidak tau – tau menau, Universitas seharusnya mampu menjadi benteng terakhir asketisme intelektual, disaat tangki-tangki pemikir bernoda uang dan kedudukan bertumbuhan di sana sini. Bukan malah sebaliknya, Universitas tidak lagi bernafsu dan mampu menumbuhkan tangki-tangki pemikir yang mengabdi pada kemaslahatan bersama, kemudian membiarkan budaya yang mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan semata mekar dan subur ditiap pojok-pojok akademik universitas (Menara Gading) dan pupuslah independensi akademik.
Kabut hitam itu masih tetap menghiasi langit menaraku, namun aku menyadari bahwa persoalan ini tidak berasal dari satu muara saja, aku pikir hingga saat ini kendali negara terhadap kebebasan berpikir kita sebagai kaum intelektual akademik secara sistematis membuat kita tidak memiliki ruang dialog yang cukup, karena lagi – lagi negara selalu mengambil peran sebagai pengambil keputusan tunggal. Dan sebagai kaum intelektual yang masih bertengger dimenara gading, seharusnya kita menyadari ini, dan secara bertahap kita harus melakukan perubahan, karena kaum intelegensia yang terus berdiam ditengah kondisi seperti ini, bukan saja telah melunturkan nilai – nilai kemanusiaan tapi juga telah ikut andil dalam memperparah serta memperpanjang barisan kemiskinan baik moral maupun materi yang di miliki bangsa ini.
Sebagai kaum intelektual akademik, independensi akademik harus kita jaga dan segala usaha harus kita kerahkan untuk terus belajar dan memahami persoalan – persoalan bangsa dewasa ini, prinsip pragmatis dan transaksional yang menggurita baik diwilayah ekonomi mapun diranah politik harus kita libasa habis untuk tidak merambah keranah pendidikan dan cita – cita agar semua anak negeri, bisa mencicipi bangku-bangku pendidikan hingga perguruan tinggi harus tetap kita suarakan, karena kita tidak lagi hidup dijaman, yang diamana hanya anak raja, priyayi, bupati bangsawan dan kiyai saja yang bisa sekolah. Untuk itu sudah saatnya kita semua sebagai bagian dari akademisi kampus mengusir awan hitam itu dan kalau perlu kita pikirkan bagaimana caranya agar dia bisa jadi hujan yang dapat membersihkan jiwa – jiwa yang ngawur dalam praktek, menjadi tau diri dan kembali pada kiblatnya yaitu pendidikan yang bersih dari pengarunya kepentingan – kepentingan yang dapat membunuh integritas dan independensi 3 dharma perguruan tinggi.

Bila kaum muda yang telah belajar disekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk dapat melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita – cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak dieberikan sama sekali. (Tan Malaka)

Sabtu, 26 Juni 2010

GENERSI OPORTUNIS

Banyak yangmengatakan bahwa Demonstrasi adalah hal yang tidak baik. Dosen, Guru dan sebagian besar mahasiswa yang membenarkan hal itu juga mengatakan hal yang sama. Sebagai kaum intelektual, mereka itu pura-pura tidak tau atau memang rasionalitasnya sudah terjual dan tergadaikan oleh kekuatan modal, atau bagaimana.?
Aku selalu resah dan gelisah ketika mendengar hal itu, ditengah kondisi bangsa yang carut marut dan hamburadul seperti saat ini, dan ditengah persaingan para elit politiknya yang hanya mementingkan kekuasaan dan kesenangan golongan mereka semata. Apakah kita patut berdiam dan hanya menunggu kiamat datang.?
Mungkin perlu kita ketahui, bahwa demonstrasi adalah sebuah proses pembentukan opini massa dan demonstrasi juga tidak boleh kita lupakan, karena tidak bisa dipungkiri bahwa demonstrasi adalah batu tapal dari perkembangan sejara bangsa Indonesia. Bisa kita bayangkan, jika dalam kondisi bangsa yang seperti saat ini, apa jadinya jika tidak ada suara – suara kritis pemuda – pemuda disamping kiri jalan.? Suda pasti Negara ini tidak ubahnya Negara fasis dan akan jadi tirani yang rakyatnya tetap bodoh dan akan terus dibodohi, karena tidak ada proses pembentukan opini dan pencerdasan politik yang dilakukan pada rakyatnya dan lagi-lagi rakyat hanya akan menjadi dan dijadikan buruh murah atau tenaga – tenaga produktif dengan harga murah.
Sebagai kaum intelegecia, seharusnya kita tidak tinggal diam dalam keadaan seperti saat ini, segala kekuatan harus kita kerahkan untuk terus berjuang dan belajar serta berusaha memahami persoalan-persoalan bangsa dan Negara akhir – akhir ini. Kaum intelegencia yang tarus berdiam dalam keadaan seperti saat ini, tidak lain dan tidak bukan adalah orang – orang yang oportunis.
Menggelar poster dijalanan dan memprotes ketidakadilan. Percaya atau tidak, yang mereka sampaikan adalah kejujuran dan kebenaran. Jujur bahwa mereka mengalami ketidak adilan dan bener bahwa ada kebohongan yang telah ditanamkan dalam proses pembentukan bangsa dan Negara ini.
Memang benar, bahwa dalam proses penyampaian pendapat dimuka umum tidak jarang akhir – akhir ini diwarnai dengan kericuhan dan bentrok yang sulit untuk dikontrol. Namun Saya ingin mengatakan bahwa terjadinya bentrok semacam itu, pada dasarnya itu sudah merupakah hal yang diluar dari proses penyampaiaan pendapat, karena pasti itu terjadi karena kesalahan hal-hal kecil yang menyangkut mekanisme dan teknisi dilapangan. Bisa saja itu bersumber dari para pendemo atau malah sebaliknya yaitu dari para petugas keamanan yang seharusnya menempatkan posisi sebagai pengawal aspirasi rakyat, namun dalam teknisinya dilapangan malah sebaliknya, yaitu petugas keamanan ini malah menjadi benteng tangguh yang menghadang kedatangan rakyat dengan barisan dan senjata yang lengakap, ditambah dengan raut wajah yang seakan – akan melihat setan, dan seakan – akan menempatakan posisi rakyat sebagai preman atau penjajah yang pasti akan berubat buruk. Inikan bisa mempengaruhi psikologis individu – individu yang ada, jadi jangan heran potensi terjadinya kerusuhan sangat besar.
Dalam keadaan yang sudah tercap sebagai budaya ini, ada pertanyaan yang menarik, “Sebenernya siapa yang harus dilayani,.??”. Terciptanya sebuah Negara, itu satu, harus ada rakyat, dan dalam Negara demokrasi rakyat akan memilih siap yang pantas mewakili mereka untuk berhadapan dengan dunia luar. Jadi presiden sekalipun walaupun dia adalah symbol Negara, sejatinya dia adalah wakil dari rakyat, dan segala parangkat pemerintahan seharusnya mengayomi rakyat layaknya raja yang harus mendapat perlakuan dan pelayanan yng baik. Bukan malah sebaliknya, mereka yang digaji oleh rakyat dan bahkan celana dalamnya sekalipun didapatkan dari uang rakyat, malah mempersulit dan membodohi rakyat.
Saya tidak sepakat dengan orang yang mengatakan bahwa demonstrasi bukan merupakan solusi penyampaian pendapat yang tepat, tapi saya juga lebih tidak sepakat dengan bentuk – bentuk penyampaian pendapat yang keluar dari tujuan aslinya., yaitu membentuk opini massa dan propaganda untuk mencerdaskan dan membentuk keadaan social yang mamapu mempengaruhi kesadaran social massa rakyat. Dan satu hal yang paling penting, yaitu bukan merupakan kepentingan politis apalagi ditunggangi oleh kepentingan partai politik tertentu. Tapi semuanya harus murni kerena amanat penderitaan rakyat yang sejatinya telah dilupakan oleh generasi-generasi oportunis yang telah menduduki posisi sebagai wakil rakyat diatas sana.

GENERSI TER-ASING (Membantah Apatis Namun Ter-Asingkan)

Padamu negeri kami berjanji,
Padamu negeri kami berbakti,
Padamu negeri kami mengabdi,
Bagimu negeri jiwa raga kami.
Lagu ini sudah tidak asing lagi dalam ingatan kita, sekaligus mengingatkan kita pada perjuangan para pahlawan yang mati – matian telah menyerahakan seluruh jiwa raganya hanya untuk kemerdekaan bangsa dan Negara ini.
Kedaulatan dan kemerdekaan sudah kita raih, namun benar pa yang dikatakan funding father Negara ini, yang pernah mengatakan bahwa “Kemerdekaan hanyalah jembatan emas menuju kemakmuran dan kesejahteraan”. Merdeka, bukan berati perjuangan sudah usai, namun justru diseberang jembatan emas itulah perjuangan kita bakalan benar – benar diuji, karena disanalah arena pertarungan yang sebenarnya, karena disana kita akan sulit mengenal mana kawan dan mana lawan. “Dan itulah medan perang yang sebenarnya”.
Anlisa yang tepat dan nalar yang bermain jernih serta pertimbngan dari berbagai aspek merupakan modal utama untuk tampil sebagai petarung yang handal.
Hari ini, ketika kesengsaraan itu makin jelas, ketika kemiskinan makin ganas merongrong sendi – sendi kehidupan rakyat, kami yakin masih ada sebagian orang yang merasa bertanggung jawab dan peduli untuk tampil membela dan menyuarakan penderitaan rakyat. Bukan sebagai pemimpin perjuangan, bukan juga sebagai “Agen Of change”, tapi sebagai putra – putri ibu pertiwi yang menginginkan kemerdekaan dan demokrasi sejati, dengan menggalang kekuatan bersama massa rakyat dalam semesta perlwanan.
Banyak yang mengatakan bahwa kita adalah generasi – generasi apatis, anak – anak yang cuek dan tidak mau tau tentang keadan bangsa tempatnya berpijak, bahkan yang paling tragis yaitu ada yang terlupa dengan jati diri bangsanya sendiri. Dalam hal ini, “Kita yang lupa atau kita yang dibuat terlupa.?” Mungkin itu pertanyaan yang harus kita simak dan telaah lebih dalam.
Ditengah realitas social yang semakin tak bercahaya, dan kemakmuran yang semakin jauh dari pupil mata yang semakin mengecil, perlawanan itu masih ada, riak – riak gelombang perlwanan yang ditandai dengan teriakan – teriakan pembebasan, masih terdengar disamping kir jalan – jalan yng diciptakan oleh para punggawa negeri ini.
Mereka, Mereka adalah anak – anak yang membantah bahwa mereka adalah generasi apatis(Dalam pandangan banyak orang). Mereka turun kejalan, menggelar poster dijlanan, memprotes ketidak adilan, menyebarkan benih – benih perlawanan, membentuk opini massa dan terkadang, mereka bahkan harus siap menentang aparat keamanan dengan resiko hilangnya keselamatan jiwa mereka. Namun sayang, hingga saat ini, tetap saja mayoritas massa rakyat termsuk kelas tertindas sekalipun, sulit dan bahkan tidak memahami apa yng mereka lakukan. Massa rakyat pada umumnya tampaknya lebih memahami prilaku anak – anak muda yang ada di mall, dipentas – pentas musik, diskotik, dan anak – anak muda yang terbuai oleh manisnya boneka – boneka imprealisme.
Bagimu negeri jiwa raga kami,… itulah jawaban dari apa sebenarnya yang mereka cari. Dan sekaligus jawaban buat ungkapan yang mengatakan bahwa “Jangan tanyakan apa yang diberikan Negara padamu, tapi tanyakanlah apa yang telah kau berikan untuk negaramu”.
Disadari atau tidak pada dasarnya mereka telah memberikan segalanya bagi bangsnya, jiwa dan raga mereka, tidak segan – segan mereka korbankan hanya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat, bangsa dan negaranya. Sekligus aplikasi dari rasa cinta tanah air mereka.
Ditengah dominasi imperialisme yang begitu kuat, tak ragu dan segan – segan mereka tampil sebagai penentang dan siap bertarung untuk mengucilkan dominasi tersebut dalam benak rakyat dan bangsanya. Cita – cita mereka begitu mulia, “Menciptakan keadaan sosil yang mampu mempengaruhi kesadaran social”. Itulah yang mereka lakukan, yang tak peduli senapan berjejer, dan ribuan intimidasi yang kerap menusuk sendi – sendi kehidupan pribadi maupun keluarga mereka. Dan satu hal yang paling mengharukan adalah mereka tidak pernah memikirkan kapan perjuangan ini selesai walaupun mereka tau proses menuju itu sangat panjang, namun yang mereka pikirkan hanyalah “Kita harus menanam hari ini, walaupun kelak kita tidak sempat menikmati hasil panen dari apa yang telah kita semai. Bermimpi untuk menikmati saja, sudah sangat jauh dari benak mereka. Sungguh mulia dan sebenarnya sangat sederhana permintaan mereka. Tapi untuk meraih itu dibutuhkan idialisme yang sangat tangguh dan mampu menyingkirkan kekuatan modal.
Banyak orang yang mengaku idealis, tapi tanpa mereka sadari, idealisme mereka hanyalah idealisme kerupuk yang hanya untuk kesenangan dan kemapanan pribadi. Padahal idealisme itu lahir dari kesadaran bahwa rakyat sedang menderita dan membutuhkan tangan – tangan yang berani untuk menyuarakan pembebasan yang sesungguhnya. Dan hari ini, idealisme sejati itu hanya ada dan dimiliki oleh orang – orang yang berada digaris perjuangan, yang menuntut demokrasi sejati, dan sekali lagi bukan mereka yang oportunis dan menghamba pada kepentingan modal kemudian berlaga pura – pura tidak tau.!

KETIKA KU TERSADARKAN

Hari ini, aku merasakan ada yang beda dari udara Surabaya. Surabaya yang begitu panas karena udara yang sudah tercemar oleh aktivitas pabrik-pabrik yang tidak ada henti – hentinya, terasa beda sore ini. Aku merasakan udara Surabaya hari ini begitu dingin, beda dengan hari – hari kemaren.
Berjalan ditengah congkaknya gedung – gedung kemapanan, udara dingin dari angin sepoy – sepoy yang menusuk pori – pori kulitku, hampir tidak dapat kunimati. Aku menyaksikan dan merasakan begitu ganasnya penindasan yang mereka lakukan, ditengah kota besar yang gedung – gedungnya seharusnya merupkan gambaran dari sebuah kemakmuran, ternyata sama sekali tidak menggambarkan hal tersebut. Tangan dibawah disetiap perempatan lampu merah, dipusat-pusat perbelanjaan dan dijalan – jalan perkotan, mewarnai sebauah tatanan kehidupan yang katanya mereka adalah sebuah kemakmuran.
Aku hanya punya beberapa receh dikantong celanaku, dan aku tidak punya uang sebanyak itu untuk memperbaiki prekonomian mereka, “orang – orang malang dipinggiran jalan”. Apa yang harus aku lakukan, toh, juga dengan memberikan mereka receh yang aku miliki juga tidak akan menyelesaikan persoalan mereka.?
Sahabat – sahabat yang progresif dan revolusioner, menjawab pertanyaan tersebut dengan propaganda yang begitu massif. Aku terbuai oleh konsep perjuangan mereka, mereka yang begitu lihai memainkan kata – kata yang sejatinya adalah sebuah gambaran kenyataan terhadap sebuah realitas social hari ini, menyadarkanku bahwa sebuah perubahan yang fundamental, baru benar – benar akan terwujud, jika kita berhasil membentuk sebuah keadaan social yang mampu mempengaruhi kesadaran social massa rakyat yang pada dasarnya telah terbuai oleh mimpi – mimpi yang ditawarkan oleh para pemimpin – pemimpin Negara yang notabene adalah antek – antek imperialisme.
Mereka, kawan – kawan yang progresif dan revolusioner pernah mengatakan, bahwa konflik yang terjadi didunia saat ini, apapun bentuknya adalah perang antara dua kelas, yang tidak mungkin akan terdamaikan, yaitu antara kelas tertindas dan yang menindas, antara kaum kaya dan kaum miskin, antara kaum penghisap dan yang terhisap dan antara pencuri dan yng dicuri hak miliknya. Itulah perang yang sedang berlangsung diseluruh dunia saat ini. Dan Indonesia merupakan salah satu Negara yang menjadi sasaran jajah yang empuk bagi imperialisme, yang sebenarnya sudah berlangsung lama, dan bahkan mereka sudah mampu membodohi dan membohongi rakyat. Salah satunya yaitu melalui system pendidikan yang tidak ilmiah, tidak demokratis, dan tidak mampu mengabdi pada kepentingan rakyat mayoritas. Hal itu mereka lakukan, tidak lain dan tidak bukan hanya untuk memperkokoh eksistensi mereka sebagai penjajah yang bagi mereka tidak akan pernah terkalahkan.
Untuk terbebas dari jajahan tersebut kita membutuhkan sosok kepemimpinan yang revolusioner, yang mampu mengambil ketegasan untuk menentang imperialisme dengan segala implementasinya. Dan sadar bahwa penggulingan terhadap dominasi imprialisme, hanya bisa dilakukan oleh gerakan massa yang terorganisir, dari kelas buru, tani, dan kaum miskin perkotaan, pedesaan dan kaum intelektual yang revolusioner serta kelas – kelas atau bangsa – bangsa minoritas yang tertindas. Dan untuk itu haruslah mereka dipersenjatai dengan idiologi dan praktek yang benar. Inilah sesungguhnya tugas berat bagi kaum muda intelektual yang revolusioner, yaitu untuk menyadarkan mayoritas kelas tertindas dengan mengajak mereka menciptakan sebuah keadaan yang mampu mempengaruhi kesadaran social massa rakyat, khususnya klas – klas tertindas untuk bngkit dan melawan segala bentuk – bentuk penindasan yang telah diciptakan imperialisme terhadap sendi –sendi kehidupan rakyat.
Angin yang bertiup lalu pergi begitu saja, tanpa meninggalkan bekas apa – apa kecuali belaian mesranya yang telah menyelimuti tubuhku, dan akan selalu kurindukan, telah menyadarkanku dari sebuah lamunan tentang realitas yang nyata, yang pada dasarnya kurasakan dalam denyut nadi dan detak jantungku.
Ketika aku tersadarkan, kurasakan indahnya dunia, dan arti kehidupan yang sesungguhnya dalam segala keterbatasan, yang kuyakin tidak semua orang pernah mengalami dan merasakannya. Dengan segala keterbatasan kita mencoba untuk hidup berbagi dengan menyingkirkan egoisme, dan membuang ketamakan serta melepas pergikan sifat-sifat individualisme yang mementingkan diri sendiri. Apa lagi soal Perut. Kita, karena keterbatasan, selalu mengisi perut dan menutup kelaparan dengan makan satu bungkus nasi yang harus dibagi untuk beberapa mulut, itu soal biasa dalam hidup kami, dan keadaan yang telah membentuk budaya ini, sangat membutuhkn perasaan dan solidaritas yang tinggi adalah hal yang tidak akan pernah terlupakan dalam sejarah hidup kami. Yang mau tidak mau harus berdamai dan berbaik hati dengan segala keterbatasan dan kekurangan.
Ketika aku tersadarkan, selamat tinggal kuucapkan buat masa lalu, namun ijinkan aku untuk belajar darimu untuk menatap hari esok, dengan menjemput kemeredekaan dan pembebasan yang sesungguhnya.!!!