Sabtu, 26 Juni 2010

KETIKA KU TERSADARKAN

Hari ini, aku merasakan ada yang beda dari udara Surabaya. Surabaya yang begitu panas karena udara yang sudah tercemar oleh aktivitas pabrik-pabrik yang tidak ada henti – hentinya, terasa beda sore ini. Aku merasakan udara Surabaya hari ini begitu dingin, beda dengan hari – hari kemaren.
Berjalan ditengah congkaknya gedung – gedung kemapanan, udara dingin dari angin sepoy – sepoy yang menusuk pori – pori kulitku, hampir tidak dapat kunimati. Aku menyaksikan dan merasakan begitu ganasnya penindasan yang mereka lakukan, ditengah kota besar yang gedung – gedungnya seharusnya merupkan gambaran dari sebuah kemakmuran, ternyata sama sekali tidak menggambarkan hal tersebut. Tangan dibawah disetiap perempatan lampu merah, dipusat-pusat perbelanjaan dan dijalan – jalan perkotan, mewarnai sebauah tatanan kehidupan yang katanya mereka adalah sebuah kemakmuran.
Aku hanya punya beberapa receh dikantong celanaku, dan aku tidak punya uang sebanyak itu untuk memperbaiki prekonomian mereka, “orang – orang malang dipinggiran jalan”. Apa yang harus aku lakukan, toh, juga dengan memberikan mereka receh yang aku miliki juga tidak akan menyelesaikan persoalan mereka.?
Sahabat – sahabat yang progresif dan revolusioner, menjawab pertanyaan tersebut dengan propaganda yang begitu massif. Aku terbuai oleh konsep perjuangan mereka, mereka yang begitu lihai memainkan kata – kata yang sejatinya adalah sebuah gambaran kenyataan terhadap sebuah realitas social hari ini, menyadarkanku bahwa sebuah perubahan yang fundamental, baru benar – benar akan terwujud, jika kita berhasil membentuk sebuah keadaan social yang mampu mempengaruhi kesadaran social massa rakyat yang pada dasarnya telah terbuai oleh mimpi – mimpi yang ditawarkan oleh para pemimpin – pemimpin Negara yang notabene adalah antek – antek imperialisme.
Mereka, kawan – kawan yang progresif dan revolusioner pernah mengatakan, bahwa konflik yang terjadi didunia saat ini, apapun bentuknya adalah perang antara dua kelas, yang tidak mungkin akan terdamaikan, yaitu antara kelas tertindas dan yang menindas, antara kaum kaya dan kaum miskin, antara kaum penghisap dan yang terhisap dan antara pencuri dan yng dicuri hak miliknya. Itulah perang yang sedang berlangsung diseluruh dunia saat ini. Dan Indonesia merupakan salah satu Negara yang menjadi sasaran jajah yang empuk bagi imperialisme, yang sebenarnya sudah berlangsung lama, dan bahkan mereka sudah mampu membodohi dan membohongi rakyat. Salah satunya yaitu melalui system pendidikan yang tidak ilmiah, tidak demokratis, dan tidak mampu mengabdi pada kepentingan rakyat mayoritas. Hal itu mereka lakukan, tidak lain dan tidak bukan hanya untuk memperkokoh eksistensi mereka sebagai penjajah yang bagi mereka tidak akan pernah terkalahkan.
Untuk terbebas dari jajahan tersebut kita membutuhkan sosok kepemimpinan yang revolusioner, yang mampu mengambil ketegasan untuk menentang imperialisme dengan segala implementasinya. Dan sadar bahwa penggulingan terhadap dominasi imprialisme, hanya bisa dilakukan oleh gerakan massa yang terorganisir, dari kelas buru, tani, dan kaum miskin perkotaan, pedesaan dan kaum intelektual yang revolusioner serta kelas – kelas atau bangsa – bangsa minoritas yang tertindas. Dan untuk itu haruslah mereka dipersenjatai dengan idiologi dan praktek yang benar. Inilah sesungguhnya tugas berat bagi kaum muda intelektual yang revolusioner, yaitu untuk menyadarkan mayoritas kelas tertindas dengan mengajak mereka menciptakan sebuah keadaan yang mampu mempengaruhi kesadaran social massa rakyat, khususnya klas – klas tertindas untuk bngkit dan melawan segala bentuk – bentuk penindasan yang telah diciptakan imperialisme terhadap sendi –sendi kehidupan rakyat.
Angin yang bertiup lalu pergi begitu saja, tanpa meninggalkan bekas apa – apa kecuali belaian mesranya yang telah menyelimuti tubuhku, dan akan selalu kurindukan, telah menyadarkanku dari sebuah lamunan tentang realitas yang nyata, yang pada dasarnya kurasakan dalam denyut nadi dan detak jantungku.
Ketika aku tersadarkan, kurasakan indahnya dunia, dan arti kehidupan yang sesungguhnya dalam segala keterbatasan, yang kuyakin tidak semua orang pernah mengalami dan merasakannya. Dengan segala keterbatasan kita mencoba untuk hidup berbagi dengan menyingkirkan egoisme, dan membuang ketamakan serta melepas pergikan sifat-sifat individualisme yang mementingkan diri sendiri. Apa lagi soal Perut. Kita, karena keterbatasan, selalu mengisi perut dan menutup kelaparan dengan makan satu bungkus nasi yang harus dibagi untuk beberapa mulut, itu soal biasa dalam hidup kami, dan keadaan yang telah membentuk budaya ini, sangat membutuhkn perasaan dan solidaritas yang tinggi adalah hal yang tidak akan pernah terlupakan dalam sejarah hidup kami. Yang mau tidak mau harus berdamai dan berbaik hati dengan segala keterbatasan dan kekurangan.
Ketika aku tersadarkan, selamat tinggal kuucapkan buat masa lalu, namun ijinkan aku untuk belajar darimu untuk menatap hari esok, dengan menjemput kemeredekaan dan pembebasan yang sesungguhnya.!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar